
Masih kurang percaya, tanyakan saja kepada PSSI yang kumpulan pakar sepak bola dan calon gagal tuan rumahnya Piala Dunia 2022. Berapa banyak pemain transferan profesional dari Nigeria, Kamerun, Aljazair, Pantai Gading, dan Afrika Selatan yang istilah bekennya pers olahraga itu ”merumput” di Liga Super dan liga laga-laga lainnya. Malah tayangan TV Indonesia soal laga super tim Indonesia, kalau tidak ada pemain hitamnya, pertandingan kurang seru dan kurang menggigit karena atlet asing gelap-gelap itu suka menggigit lawannya terang-terangan. Di tingkat kelas dunia, paling tidak di Afsel nanti akan berlaga nomine juara dunia Brasil, kebetulan berbahasa gado-gado slang Portugis campuran lokal. Tim Brasil itu kebanyakan atletnya berkulit sawo kematangan, hitam berkilap, dan hitam terang-terangan. Mereka ini, apa pun ceritanya, merupakan keturunan leluhurnya yang dibawa Portugis untuk menjadi buruh kebun dan pekerja keras di pinggiran Amazone. Jadi, secara ”sepakbolanologis”, manusia berkulit gelap Brasil itu memang berleluhur Afrika meski tidak jelas asal-usul negara aslinya di Afrika Barat. Badan dengan DNA Afrika yang rambut keriwil mentok dan kulit gelap banget rupanya indikator talenta bersepak bola jagoan.
Bukan di zamannya Didier Droga atau Samuel Eto’o yang ngetop sekarang, tahun 1934 ya 76 tahun lampau, hadir Leonidas da Silva sebagai pelopor pesepak bola hitam pertama Brasil yang main di Piala Dunia Italia 1934. Padahal, sebelumnya Brasil mengirimkan pesepak bolanya, Arthur Friedenreich, yang campuran hitam-Jerman, tahun 1921 sudah tampil di Copa Amerika, tetapi blasteran item-putih ini dilarang main. Tampilnya Leonidas justru mengeraskan niatan pemuda bernama Edson Arantes do Nascimento alias Pele yang masih berumur 17 tahun. Remaja berkulit ”mutiara hitam” itu bersamba ria ngelecein pemain Swedia di final Stockholm 29 Juni 1958. Brasil juara dan Pele menerima gelar ”man of the tournament”, saat itu Brasil juga menyertakan pemain berkulit campuran, misalnya Didi dan Vava, lalu menyusul ”si kaki karet” Garincha bersama Pele dan Vava-Didi membuat Brasil jadi juara dunia kedua kali pada Piala Dunia 1962 di Santiago, Cile. Kehadiran jagoan bola berkulit gelap secara terang-terangan ini membuka mata hati atlet berkulit hitam dan gelap lainnya, khususnya yang asal Afrika. Makanya, sisa-sisa pertandingan jago-jago bola internasional itu makin menarik dan kian memikat karena mengandung catatan sejarah perihal kehidupan manusia di dunia, sebelum adanya sepak bola Piala Dunia yang menyertakan wakil negara yang patut bermain indah, sportif, fair play, dan tidak koruptif. Wah, berat buat Indonesia yang tidak terkait sejarah ”sepakbolanologis”, ya logis. (RUDY BADIL Wartawan Senior)
Sumber: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar