Oleh: Anton Sanjoyo
Anfield bukan lagi padang yang menakutkan bagi tim lawan. Tulisan besar ”This is Anfield” di ujung lorong menuju lapangan tidak lagi relevan sebagai kalimat provokatif, paling tidak sampai akhir pekan lalu. Hanya mengoleksi enam poin dari tujuh laga pembuka musim, Liverpool— klub paling sukses dalam sejarah Liga Inggris— melakukan start paling buruk sejak 1953. Hari Minggu lalu, kiamat kecil terjadi di stadion megah di wilayah Merseyside itu. Tampil masih limbung setelah didera persoalan intern kepemilikan klub yang tak kunjung kelar, Steven Gerrard dan kawan-kawan ditekuk klub pendatang baru, Blackpool, 1-2, setelah sempat tertinggal 0-2. Bukan hanya kalah, ”The Reds” ibarat terkubur nama besarnya sendiri. Hampir setiap pemain tampil di bawah bentuk terbaik. Formasi kacau-balau. Bek berdiri di lini tengah, striker cenderung bertahan, bahkan Gerrard lebih banyak mengomando pasukannya dari daerah pertahanannya sendiri. Liverpool benar-benar kehilangan jati diri. Berada di zona degradasi pastilah bukan wilayah yang familier, terutama bagi Liverpludian, pendukungnya yang fanatik. Apalagi, pekan depan, Premiership jeda sejenak oleh rangkaian laga kualifikasi Piala Eropa, dan itu membuat para Liverpludian pastilah tambah sesak napas saat menengok klasemen sementara. Sejak Rafael Benitez hengkang karena prestasi Liverpool yang menukik pada tiga musim terakhir, klub pengoleksi lima gelar Liga Champions itu terjerumus dalam problem kepemimpinan. Ada problem keuangan akibat menumpuknya utang pemilik—George Gillett dan Tom Hicks—tapi bukan itu masalah ”Si Merah” sesungguhnya. Mereka butuh figur yang punya keterikatan sejarah dan terutama emosi dengan Anfield.
Kedatangan Roy Hodgson dengan segala spekulasinya menimbulkan tanda tanya besar. Hodgson memang pelatih senior, dengan catatan prestasi sebagai manajer membentang dari Denmark, Swedia, Italia, hingga ke tanah Arab. Namun, pria berusia 63 tahun ini tak banyak berpengalaman di Liga Inggris. Musim lalu, Hodgson menyelamatkan klub kecil London, Fulham, dari bencana degradasi, tapi kehadirannya di Anfield sejak awal memang menimbulkan keraguan. Masalah terbesarnya adalah dengan prestasinya yang tak begitu cemerlang, Hodgson bahkan pula tak punya jejak di Anfield. Laiknya klub-klub besar Inggris, seperti Manchester United, Arsenal, Tottenham Hotspur, Nottingham Forest, atau Chelsea, Liverpool memang bukan sekadar bond sepak bola. Klub ini sejak berdiri 15 Maret 1892 dibangun dengan fondasi tradisi yang amat kuat. Keterikatan emosi yang sangat kuat antara fans, klub, para pemain, staf, dan stadion nyaris tidak bisa dijelaskan dengan teori perilaku manusia paling modern sekalipun. Maka, tak sampai hitungan dua pekan Hodgson menjadi nakhoda di Anfield, tekanan besar langsung menerpanya. Para fanatikus Liverpool selalu meneriakkan nama Kenny Dalglish saat The Reds tampil buruk, apalagi saat tumbang, seperti ketika ditekuk Blackpool hari Minggu lalu. Pendukung Si Merah barangkali memang sudah sampai batas kesabaran. Nama Dalglish digaungkan sebagai simbol perlawanan bukan kepada Hodgson, melainkan kepada Gillett dan Hicks yang dianggap tidak sepenuh hati mengurusi Liverpool dan hanya memikirkan kepentingan bisnis saat mengakuisisi klub itu pada Februari 2007. Sekali lagi, duet pebisnis asal Amerika Serikat itu tak punya akar tradisi dan keterikatan emosi dengan Anfield dan Liverpool. Tak seperti Hodgson yang asli Inggris, Kenneth Mathieson Dalglish (59) asli Skotlandia dan besar sebagai pemain di klub Glasgow Celtic. Ia pahlawan Celtic dan tim nasional Skotlandia pada Piala Dunia 1974, tapi nama Dalglish terpahat abadi di Anfield. Semua itu dimulai pada 1977 saat manajer legendaris Bob Paisley merekrutnya dengan biaya 440.000 poundsterling, rekor transfer pemain kala itu.
Kehadiran Dalglish di Anfield menandai periode tersukses Si Merah di kancah domestik dan internasional. Bersama striker kelahiran 4 Maret 1951 itu, Liverpool meraih 3 gelar Eropa (Piala Champion), 7 gelar Liga Inggris, dan 5 piala domestik. Pada tahun 1985, Dalglish merangkap manajer-pemain selepas tragedi Heysel. Dalam enam tahun kepemimpinannya, Liverpool selalu menyelesaikan musim sebagai juara atau runner-up. Pada periode 1985-1991, Liverpool tiga kali menjadi juara Inggris dan dua kali menggondol Piala FA. Setelah vakum cukup lama seusai menangani Blackburn Rovers, Newcastle United, dan Celtic, sejak 2009 Dalglish kembali ke Anfield sebagai direktur akademi. Pada hari-hari yang pahit bagi Liverpool sejak musim ini bergulir, pria yang jarang tersenyum itu selalu duduk di boks eksekutif Centenary Stand. Saat Gerrard dan kawan-kawan melangkah gontai sehabis menelan kegagalan demi kegagalan musim ini, mata Dalglish hanya menerawang, memandang kosong ke arah rumput Anfield. Saat namanya diteriakkan, pandangannya masih hampa. Di sisi lain, Hodgson tampaknya tinggal menghitung hari. Kekalahan melawan Blackpool baru sebatas kartu kuning. Namun, jika Liverpool sampai kalah melawan Everton dalam derbi Merseyside pada 17 Oktober, tampaknya Hodgson harus menerima kenyataan paling pahit dipecat. Dengan tekanan fans yang begitu hebat, Gillett-Hicks sepertinya akan memberi jalan kepada ”King Kenny” menempati kembali singgasananya.
Sumber: Kompas, Kamis, 7 Oktober 2010